Publikasi sebuah lembaga pendidikan adalah sebuah keniscayaan
untuk membuat komunikasi dengan masyarakat luas. Di jaman informasi ini,
komunikasi bisa dilakukan dengan teknologi. Meski internet dan social media
melanda semua lini kehidupan, media konvensional macam spanduk, billboard, dan
poster masih marak dilakukan. Hal ini didasari tidak semua masyarakat pengguna
sekolah mencari informasi melalui internet.
Pihak sekolah harus mempelajari segmen siswa, sebagai contoh
komunitas orang tua yang status-quo, yang memilih sekolah karena faktor
kepemimpinan, akan mantap memilih sekolah dengan foto sang kepala sekolah di
papan besar. Mereka beranggapan, kepemimpinan yang menonjol akan membawa
kemajuan sekolah. Banyak benarnya memang. Jika suatu waktu sang pimpinan
keluar, pindah kerja, dibajak sekolah lain atau mengundurkan diri karena alasan
lain, maka biasanya terjadi gagap dan pengenduran peminat. Wah gawat, hal ini
harus dihindari.
Ada lagi contoh sebuah sekolah bertaraf international
memasang sebuah billboard dengan ukuran besar dengan memamerkan berbagai
fasilitas mewah yang dimilikinya. Seperti fasilitas kolam renang, bahasa
inggris, computer dan yang paling norak di sampingnya, foto kepala sekolah,
seorang ibu setengah baya berkebaya, besar sekali ukuran gambarnya, hahaha…Lha,
narsis bukan hanya milik anak ABG dan para caleg tapi kepala sekolah pun pengin
menunjukkan mukanya di depan khalayak ramai, horor memang… Masalahnya isi pesan
yang akan disampaikanpun, kini makin mirip dengan iklan komersial produk dan
jasa. Persaingan menjadi alasan klasik dunia pendidikan kita.
Mana yang lebih efektif? Saya pribadi
belum dilakukan survey. Namun kata hati saya pasti bertolak belakang dengan
promosi publikasi dua sekolah di atas. Sekolah tetaplah menjadi lembaga yang
memanusiakan manusia. Tak elok jika dikomunikasikan dengan gaya komersial,
ataupun dengan memamerkan fasilitas dan ketokohan. Proses pembelajaran akan
menjadi samar-samar. Sekolah kan layanan social yang masih sarat dengan
nilai-nilai. Jangan diobral layaknya menjual obat dung! Sewajarnya ajalah. Tak
perlu muluk, desain elegan, tampilkan wall of fame atau ketercapaian
yang pernah dihasilkan. Bukan menonjolkan komersialisasi dan pamer wajah
pemimpin sekolah, apalagi janji dan fasilitas.
Orang tua calon peserta didik
memilih sekolah tidak dengan cara impulse buying yang menentukan dengan
cepat dan segera saat itu juga. Kebanyakan masih dengan cara lama yang lebih
dipercaya, yakni komunikasi langsung. Saat open house misalnya, umumnya
diperlihatkan semua faktor penunjang sekolah. “Pakai saja event atau kegiatan
lain yang menyentuh langsung calon orang tua dan siswa. Dengan begitu, jumlah
siswa yang diharapkan akan lebih lestari atau lebih ‘berumur lama’, dibanding
perolehan murid yang dilakukan dengan sentuhan komersial.
Saran saya pelajari kembali
rencana publikasi dan publisitas sekolah. Lakukan dengan lebih patut. Strategi
mendapatkan siswa baru akan lebih elegan jika dilakukan dengan tatap muka dan
pendalaman kekuatan sekolah yang sesungguhnya. Demikian tarik menarik nantinya
akan terjadi dengan lebih alami. Akan terseleksi, orang tua dan siswa yang sama
vision nya. Masalah dibelakangnya masih panjang, karena itu penjaringan
siswa lebih baik tak mengandalkan tawaran diskon atau wajah pemimpin. Tetaplah
mengutamakan proses belajar. Ingat !! Sekolah yang unggul itu bukan the best
input, but the best process.
Semoga bermanfaat...
Referensi:
teachersguideonline. Oktober 25, 2010