Sistem kompensasi
merupakan salah satu sub sistem yang penting dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, baik
pada organisasi publik maupun dalam organisasi swasta. Kompensasi menyangkut
penghargaan organisasi terhadap individu di dalam organisasi. Secara psikologis,
kompensasi yang layak akan memacu semangat
dan loyalitas seseorang pada organisasi karena mereka merasa diperhatikan dan
dibayar sesuai dengan harapannya. Sebaliknya, sistem kompensasi yang buruk
dapat menghilangkan produktivitas pegawai. Dalam jangka panjang, hal ini akan
berimplikasi pada tingginya angka turn-over dalam organisasi karena kemampuan setiap orang tidak dihargai dengan
wajar. Oleh karena itu, keputusan strategis yang berkaitan dengan
tingkat kompensasi, struktur kompensasi,
evaluasi kinerja dan sistem reward sangat mempengaruhi tingkat kompetisi
organisasi di pasar pencari kerja untuk
mendapatkan pegawai yang kompeten
dan qualified.
Dalam konteks
organisasi publik, sistem
kompensasi yang digunakan di Indonesia
masih menganut sistem
tradisional. Penentuan gaji,
bonus, remunerasi, tunjangan dan
berbagai insentif lainnya masih ditentukan oleh jenjang kepangkatan, golongan
dan senioritas. Kuatnya determinasi kepangkatan, golongan dan senioritas. Sistem
kompensasi yang berjalan selama ini
menjadi penghambat gerak reformasi kepegawaian publik (civil service reform) di
Indonesia. Persoalan kompensasi seringkali ditengarai menjadi penyebab
rendahnya kinerja birokrat karena penentuan gaji tidak didasarkan atas kinerja,
melainkan karena pertimbangan kepangkatan dan senioritas. Kondisi ini menjadi
masalah karena setiap orang digaji dengan bayaran yang sama walaupun kinerjanya
berbeda. Situasi ini menjadi
kondisi problematik manajemen
kepegawaian di Indonesia seperti yang disampaikan oleh Prasojo (2009: 86) yaitu
carut marutnya sistem penggajian dan penilaian kinerja. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa gaji PNS di
Indonesia dibayarkan secara
sama tanpa memperhatikan
kinerja. Dengan bahasa sarkastik, sistem penggajian seperti ini sering disingkat
dengan PGPS (pinter goblok, penghasilan sama).
Seiring dengan perkembangan dan
perubahan dinamika tata pemerintahan (governance), sistem kompensasi
tradisional sudah mulai
ditinggalkan, terutama di negara-negara maju. Terlebih dengan
diinjeksikannya prinsip-prinsip New Public Management dalam manajemen tata
pemerintahan, termasuk pada manajemen
kepegawaian publik. Banyak negara yang
kemudian beralih menggunakan
system kompensasi berbasis
kinerja (pay for performance). Adopsi prinsip-prinsip NPM membuka
peluang bagi sektor publik untuk
mengembangkan teknik-teknik MSDM yang
lebih canggih (Brown,
2004:305). Salah satunya adalah dengan mengimplementasikan sistem
kompensasi berbasis kinerja di sektor pendidikan. Kompensasi bisa disebut juga
dengan reward, bentuk-bentuk reward tersebut dapat digambarkan pada table
berikut:
Sistem kompensasi
harus memperhatikan dua aspek
yakni person dan performance (Kessler, 2005: 320). Dengan demikian, sistem
kompensasi sangat terkait dengan kinerja. Pemberian kompensasi didasarkan atas penilaian (assessment) terhadap kinerja individu.
Individu-individu yang mampu menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik akan mendapatkan kompensasi yang tinggi. Bahkan, bisa mendapatkan insentif
berupa bonus. Sementara itu, bagi mereka yang berkinerja buruk mendapatkan
kompensasi minimal. Sistem kompensasi yang ideal adalah sistem kompensasi yang menghargai seseorang berdasarkan usaha dan jerih
payah yang telah dikeluarkannya, bukan berdasarkan golongan, pangkat dan
senioritas. Sistem kompensasi merefleksikan bagaimana organisasi menghargai pegawainya.
Organisasi dituntut untuk memberikan balas jasa secara adil agar setiap orang merasa betah
karena diperlakukan secara
wajar. Guna mewujudkan
prinsip keadilan dalam memberikan reward
pada pegawai, organisasi
dapat menerapkan sistem
kompensasi berbasis kinerja (pay for performance). Sistem kompensasi berbasis kinerja dibangun
atas monitoring perilaku atau
kontrol output dengan
tujuan mendorong setiap pegawai untuk memaksimalkan kinerja atau
kemampuan mereka.
Sistem kompensasi
berbasis kinerja otomatis
menggunakan kinerja sebagai patokannya sehingga
perlu disusun jabaran
tugas (job description )
yang jelas dan terukur
bagi setiap individu,
sub unit, unit dalam organisasi dan job description organisasi secara keseluruhan. Berkaitan dengan guru, seorang
kepala sekolah dapat menggunkan acuan program jangka pendek yang telah
dirumuskan bersama dalam penentuan indikator tersebut. Sebagai contoh dalam
program jangka pendek sekolah terdapat point yang segera dilaksanakan berkaitan
dengan penggunaan bahasa inggris dalam penyampaian materi. Dari sinilah system kompensasi
dapat diterapkan dimana seorang guru yang telah menggunakan bahasa inggris
dalam seluruh kegiatan belajarnya berhak mendapatkan nilai kompensasi tersebut.
Dengan begini seorang guru yang memiliki kreativitas dan
berkinerja tinggi merasa diperlakukan adil karena reward yang
mereka terima tidak sama dengan mereka yang berkinerja buruk dan mereka yang
tidak bekerja.
Referensi:
Wahyu Eko Yudiatmojo.2009. Reformasi Birokrasi Publik Dalam Aksi. FISIP Universitas Andalas