Postingan blog pertama ini saya awali dengan sebuah diskusi tentang konsep dasar teori pengkondisian kelas, dimana saya anggap rekan-rekan sudah mengetahui apa itu istilah "stimulus" dan "respon" sehingga saya tidak perlu lagi bersusah payah menjelaksan mulai dari awal tentang kedua istilah tersebut.

Pengondisian kelas merujuk pada pengetahuan dimana sebuah perilaku yang semula mengikuti sebuah peristiwa diminta untuk mengikuti peristiwa lain yang berbeda, dengan kata lain pengondisian kelas adalah dimana sebuah respon yang semula mengikuti sebuah stimulus diminta untuk mengikuti stimulus lain yang berbeda. Eksperimen pengondisian kelas pada awalnya dimulai dari hubungan refleks yaitu stimulus dan respon yang muncul bersama semata-mata oleh sifat bagaimana manusia dibentuk secara fisik, mata yang berkedip terkadang merupakan respon refleks terhadap stimulus hembusan udara, seorang anak menutup telinga seketika setelah melihat kilatan petir. Melalui teori pengondisian kelas ini, Ivan Pavlov menunjukkan kepada kita bagaimana respon-respon tersebut bisa diminta untuk mengikuti stimulus non-refleks.

Percobaan awal teori pengondisian kelas adalah ketika melihat makanan (stimulus yang tidak terkondisi), seekor anjing yang lapar bisa dipastikan akan mengeluarkan air liur, jika makanan tersebut secara-berulang-ulang dihadirkan bersamaan dengan sebuah peristiwa netral (stimulus yang terkondisi) maka pada akhirnya peristiwa netral tersebut akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur. Dalam salah satu eksperimen awal ini, Pavlov menggunakan sebuah lonceng sebagai peristiwa netral, setelah berulang-ulang menyandingkan bunyi lonceng dengan makanan, ia berhasil membuat anjing yang lapar dapat mengeluarkan air liur hanya dengan membunyikan sebuah lonceng.

Kesimpulannya adalah kekuatan dari hubungan antara pengondisian stimulus dan resapon akan bergantung pada seberapa sering stimulus yang terkondisi tersebut dipasangkan dengan stimulus yang tidak terkondisi (makanan) dari seberapa dekat keduanya dihadirkan selama proses pengondisian.

Pengkondisian kelas akan membantu kita menjelaskan banyak pengetahuan dimana stimulus digunakan sebagai pengganti stimulus lannya. Sebagai contoh dalam proses ini adalah pengetahuan tentang ketakutan emosional dan daya tarik yang diciptakan oleh seorang guru. Coba saudara bayangkan seorang guru yang menimbulkan ketakutan dengan cara terlalu sering berteriak pada para siswa baik itu dilakukan secara sadar ataupun tidak, atau seorang perawat yang melakukan hal yang juga sama dengan terus menerus memberikan suntikan yang tidak diinginkan oleh pasiennya, maka perilaku ini menciptakan ketakutan dan ketegangan terhadap orang-orang yang berada dalam perhatian mereka. Implikasinya stimulus netral apapun yang secara berulang kali muncul bersamaan dengan stimulus-stimulus tersebut cenderung akan menjadi sebuah stimulus yang terkondisikan bagi respon-respon ketakutan tersebut.

Saya ambil contoh lagi yakni jika seorang guru selalu menatap anak didiknya sebelum mengkritik anak tersebut, maka tatapan yang sama sangat mungkin akan menimbulkan ketakutan pada anak didik. Pada tingkatan yang paling ekstrim, anak tersebut bisa jadi anak mulai mengasosiasikan demikian banyak perilaku sang guru dan teman-teman sekelasnya dengan ketakutan yang ia rasakan sehingga terbentuk sebuah phobia yang tergeneralisasi atau ketakutan tak logis terhadap sekolah. Disamping respon negatif yang telah saya jelaskan di atas, respon positif (daya tarik) pun juga bisa dikondisikan, jika seorang guru memuji seorang siswa dalam frekuwensi yang cukup sering tepat setelah menyapa siswa, maka perilaku menyapa tersebut pada akhirnya akan mendatangkan respon positif dari siswa yang bersangkutan meskipun pada suatu saat ia tidak mendapatkan pujian sebagaimana biasanya. Dalam jangka panjang proses ini bisa membangun hubungan yang baik antara guru dan siswa dalam ruang kelas.

Kesimpulan dari tulisan kali ini adalah stimulus yang dipercaya mampu mendatangkan respon positif, bisa dikondisikan dengan stimulus-stimulus netral lain, dan dengan demikian bisa meningkatkan aneka kemungkinan bagi individu-individu tersebut untuk mengembangkan perasaan positif terhadap orang-orang disekitar mereka.

Pertanyaannya, sudahkah anda menerapkan teori ini di kelas?

Memahami nash al-Qur’an merupakan salah satu kompetensi dasar bagi pelajaran pendidikan agama Islam baik itu pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah akhir. Teknik memahami nash al-Qur’an dapat saya sebutkan yaitu (1) memahami ayat dengan ayat, (2) memahami al-Qur’an dengan hadits shahih, (3) melalui pemahaman sahabat, (4) gramatika bahasa arab, dan (5) melalui terjemahan. Permasalahn yang muncul ketika implementasi teknik tersebut dalam sistem pendidikan di Indonesia dimana terjadi dikotomi antara sekolah umum dan sekolah agama (tsnawiyah) maka langkah akhir yang perlu diambil dalam memahami nash al-Qur’an yaitu dengan teknik terjemahan.

Cara memahami nash al-Qur’an dengan teknik terjemahan dapat dilakukan melalui teori belajar pengondisian kelas agar lebih bermakna. Seperti dalam penjelasan terdahulu tentang konsep dasar teori pengondisian kelas, stimulus pengganti sungguh-sungguh bisa bekerja bahkan dalam sebuah proses pengetahuan yang tidak dilengkapi dengan sebuah elemen perasaan yang kuat. Dalam proses memahami nash al-Qur’an dengan teori pengondisian kelas tidak serta merta harus berbentuk pengondisian kelas seperti halnya yang telah saya jelaskan pada posting sebelumnya, karena proses ini tidak membutuhkan sebuah refleks sebagai titik tolaknya. Sebagaian psikolog lebih memilih menyebut proses ini dengan pengondisian yang memiliki hubungan.

Sebagai contoh seorang anak yang sudah mempelajari cara menjumlahkan dalam pelajaran matematika dengan menggunakan balok-balok kecil, maka stimulus tersebut bisa dipasangkan dengan penjumlahan tertulis hingga sang anak bisa menyelesaikan penjumlahan dalam bentuk tertulisnya. Hal ini bisa terjadi karena biarpun semula tidak memiliki kualitas refleks yang otomatis, akan tetapi sang anak memiliki pengasosiasian dengan stimulus-stimulus baru yang sama, yakni stimulus yang semula netral bagi anak.

Aplikasinya dalam Memahami Nash al-Qur’an:
  1. Pilihlah sebuah surat atau ayat dalam al-qur’an yang akan kita jadikan bahan pembelajaran (misal surat al-fatihah)
  2. Perintahkan pada siswa untuk menghafalkan terjemahan surat tersebut baik per ayat maupun langsung secara keseluruhan
  3. Lakukanlah test hafalan terjemahan tersebut di depan kelas, setelah siswa merasa hafal lanjutkan dengan memberikan perintah menghafal surat dalam bahasa arab pada pertemuan berikutnya.
  4. Langkah terakhir dari kegiatan ini, lakukan test hafalan ayat tersebut dalam bahasa arab disertai terjemahannya secara perlahan-lahan.
Sebagai penutup bahan diskusi pada kesempatan kali ini, saya merasa yakin bahwa setelah menerapkan teknik yang telah dibahas diatas, seorang siswa yang telah mengalami pengondisian dengan teknik ini dibanding dengan siswa lain yang tidak menggunakan teknik pengondisian hubungan maka dalam jangka panjang manfaat penggunaan teknik ini akan bermanfaat bagi siswa, baik itu ketika membaca surat dalam sholatnya maupun kegiatan lain daripada hanya sekedar membaca al-Qur’an tanpa mengerti arti maupun terjemahannya.

Sistem  kompensasi  merupakan  salah  satu sub sistem yang penting   dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, baik pada organisasi publik maupun dalam organisasi swasta. Kompensasi menyangkut penghargaan organisasi terhadap individu di dalam organisasi. Secara psikologis, kompensasi yang layak akan memacu semangat dan loyalitas seseorang pada organisasi karena mereka merasa diperhatikan dan dibayar sesuai dengan harapannya. Sebaliknya, sistem kompensasi yang buruk dapat menghilangkan produktivitas pegawai. Dalam jangka panjang, hal ini akan berimplikasi pada tingginya   angka   turn-over dalam organisasi karena kemampuan  setiap orang tidak dihargai  dengan  wajar. Oleh karena itu, keputusan strategis yang berkaitan dengan tingkat kompensasi, struktur kompensasi,  evaluasi kinerja dan sistem reward sangat mempengaruhi tingkat kompetisi organisasi di pasar pencari  kerja  untuk   mendapatkan  pegawai  yang kompeten  dan qualified.


Dalam    konteks   organisasi   publik,  sistem  kompensasi yang digunakan di Indonesia  masih  menganut  sistem  tradisional.  Penentuan  gaji,  bonus,  remunerasi, tunjangan dan berbagai insentif lainnya masih ditentukan oleh jenjang kepangkatan, golongan dan senioritas. Kuatnya determinasi kepangkatan, golongan dan senioritas. Sistem kompensasi yang berjalan selama ini menjadi penghambat gerak reformasi kepegawaian publik (civil service reform) di Indonesia. Persoalan kompensasi seringkali ditengarai menjadi penyebab rendahnya kinerja birokrat karena penentuan gaji tidak didasarkan atas kinerja, melainkan karena pertimbangan kepangkatan dan senioritas. Kondisi ini menjadi masalah karena setiap orang digaji dengan bayaran yang sama walaupun kinerjanya berbeda. Situasi ini menjadi kondisi problematik manajemen kepegawaian di Indonesia seperti yang disampaikan oleh Prasojo (2009: 86)  yaitu  carut  marutnya  sistem penggajian dan penilaian kinerja. Sudah menjadi rahasia umum  bahwa  gaji PNS di  Indonesia  dibayarkan  secara  sama  tanpa memperhatikan kinerja.  Dengan bahasa sarkastik,  sistem penggajian seperti ini sering disingkat dengan PGPS (pinter goblok, penghasilan sama).

Seiring dengan perkembangan dan perubahan dinamika tata pemerintahan (governance), sistem  kompensasi  tradisional  sudah  mulai  ditinggalkan, terutama di negara-negara maju. Terlebih dengan diinjeksikannya prinsip-prinsip New Public Management dalam manajemen tata pemerintahan, termasuk pada manajemen kepegawaian publik. Banyak negara yang kemudian beralih menggunakan system kompensasi berbasis  kinerja  (pay  for  performance). Adopsi prinsip-prinsip NPM membuka peluang  bagi sektor publik untuk mengembangkan teknik-teknik MSDM yang lebih canggih (Brown, 2004:305). Salah satunya adalah dengan mengimplementasikan sistem kompensasi berbasis kinerja di sektor pendidikan. Kompensasi bisa disebut juga dengan reward, bentuk-bentuk reward tersebut dapat digambarkan pada table berikut:


Sistem  kompensasi  harus  memperhatikan dua aspek yakni person dan performance (Kessler, 2005: 320). Dengan demikian, sistem kompensasi sangat terkait dengan kinerja. Pemberian kompensasi didasarkan atas penilaian (assessment) terhadap kinerja individu. Individu-individu yang mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik akan mendapatkan kompensasi yang tinggi. Bahkan, bisa mendapatkan  insentif berupa bonus. Sementara itu, bagi mereka yang berkinerja buruk  mendapatkan kompensasi minimal. Sistem kompensasi yang ideal adalah sistem  kompensasi yang menghargai seseorang berdasarkan usaha dan  jerih payah yang telah dikeluarkannya, bukan berdasarkan golongan, pangkat dan senioritas. Sistem kompensasi merefleksikan bagaimana organisasi menghargai pegawainya. Organisasi dituntut untuk memberikan balas jasa secara adil agar setiap orang merasa betah karena diperlakukan secara wajar. Guna mewujudkan  prinsip keadilan dalam memberikan reward pada pegawai, organisasi dapat menerapkan sistem kompensasi berbasis kinerja (pay for performance). Sistem kompensasi berbasis kinerja dibangun atas monitoring  perilaku  atau  kontrol output dengan tujuan mendorong setiap pegawai untuk memaksimalkan kinerja atau kemampuan mereka. 

Sistem  kompensasi  berbasis  kinerja  otomatis  menggunakan  kinerja sebagai patokannya sehingga  perlu  disusun  jabaran tugas (job description ) yang jelas dan terukur bagi setiap individu, sub unit, unit dalam organisasi dan job description organisasi  secara keseluruhan. Berkaitan dengan guru, seorang kepala sekolah dapat menggunkan acuan program jangka pendek yang telah dirumuskan bersama dalam penentuan indikator tersebut. Sebagai contoh dalam program jangka pendek sekolah terdapat point yang segera dilaksanakan berkaitan dengan penggunaan bahasa inggris dalam penyampaian materi. Dari sinilah system kompensasi dapat diterapkan dimana seorang guru yang telah menggunakan bahasa inggris dalam seluruh kegiatan belajarnya berhak mendapatkan nilai kompensasi tersebut. Dengan begini seorang guru yang memiliki kreativitas dan  berkinerja tinggi merasa diperlakukan adil karena reward yang mereka terima tidak sama dengan mereka yang berkinerja buruk dan mereka yang tidak bekerja. 

Referensi:
Wahyu Eko Yudiatmojo.2009. Reformasi Birokrasi Publik Dalam Aksi. FISIP Universitas Andalas 

Salah satu kompetensi kepala sekolah yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah tersebut adalah manajemen tata usaha sekolah. Kepala sekolah yang bertugas sebagai pengelola sekolah memiliki peranan yang penting bagi pengembangan sekolah terkait dengan tugasnya tersebut. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi manajemen tata usaha sekolah sesuai perkembangan ipteks yang semakin pesat. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan kepala sekolah terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya khususnya bidang ketatausahaan sekolah. 

Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam bidang ini diharapkan dapat membantu meningkatkan pelayanan administratif kepala sekolah sehingga dapat membantu meningkatkan mutu sekolah secara keseluruhan. Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, kepala sekolah dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi kepala sekolah yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi kepala sekolah diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah sebagai manajer tata usaha. Merujuk kepada optimalisasi peran kepala sekolah sebagai manajer tata usaha, seorang kepala sekolah harus memiliki kompetensi merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi :

1.             Administrasi persuratan dan kearsipan
2.             Admnistrasi kurikulum dan pembelajaran
3.             Administrasi kesiswaan
4.             Administrasi perlengkapan
5.             Administrasi keuangan
6.             Administrasi kepegawaian

Kesimpulannya kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan mutu sekolah melalui manajer tata usaha yang baik. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Kemen PAN dan RB telah sudah berancang-ancang untuk  menggelar seleksi CPNS baru untuk seluruh formasi pada tahun 2013. Tetapi khusus untuk tenaga pendidik seperti guru, sudah diberlakukan aturan tersendiri. Misalnya, untuk guru Taman Kanak-kanak Negeri (TKN) ditetapkan satu guru negeri untuk satu rombongan belajar yang ada di satu kabupaten atau kota.

Selanjutnya, untuk guru kelas SDN ditetapkan satu orang untuk satu rombongan belajar di seluruh kabupaten atau kota. Aturan ini juga sama untuk usulan guru SLB Negeri. Sedangkan untuk guru Penjaskes dan agama, dihitung tiga kali jumlah sekolah yang ada di kabupaten atau kota. Sementara untuk rumus usulan guru bidang studi di SMP, SMU, dan SMK adalah, mengalikan jumlah jam wajib sebuah bidang studi dengan jumlah rombongan belajar, lalu dibagi 24 jam. Untuk guru BP, aturan ditetapkan satu guru untuk 150 siswa. Jadi jika di sebuah sekolah ada 300 siswa, maka guru BP-nya ditetapkan dua orang

Selain itu proses pendaftaran guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) rupanya mendapat perhatian khusus dari Pemerintah. Disebabkan oleh timbulnya rasa prihatin pada kemampuan sebagian besar guru saat ini yang rendah, maka Pemerintah mencanangkan persyaratan baru pendaftaran guru PNS dengan harapan untuk merekrut guru PNS berkualitas wahid di tahun mendatang.

Kriteria yang bakal diterapkan tahun 2013 yaitu dokumen atau ijazah kelulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG), sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh : “Dengan skema baru ini, untuk menjadi guru, baik PNS maupun non-PNS tidak cukup hanya dengan ijazah S.Pd (sarjana pendidikan),”.Prinsip tersebut mengadopsi seleksi dokter PNS. M. Nuh menjelaskan bahwa agar diterima menjadi dokter PNS, pelamar atau pendaftar tes CPNS tak bisa hanya bermodalkan ijazah sarjana kedokteran (S. Ked). Namun, mereka juga harus mengikuti pendidikan profesi dokter selama satu tahun.

Tata aturan terbaru mengenai persyaratan guru PNS, sedang digodok oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) selaku pelaksana teknis seleksi CPNS baru. Program PPG ditempuh ketika seseorang sudah menyelesaikan program sarjana pada FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) atau semacamnya. Apabila berminat menjadi guru PNS, maka mereka wajib mengikuti PPG yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).Akan tetapi, tak semua sarjana FKIP yang mendaftar di LPTK pasti diterima serta berhak ikut PPG. LPTK tetap bakal menjalankan seleksi CPNS secara ketat karena daya tampung rekrutmen dibatasi.

Para sarjana FKIP juga akan bersaing secara terbuka terhadap sarjana-sarjana fakultas lainnya untuk masuk LPTK. Contohnya : Demi menjadi guru matematika, para sarjana FKIP bakal bertarung dengan sarjana fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alama). Dan itu juga yang terjadi pada guru ekonomi, sarjana FKIP juga akan bersaing dengan sarjana fakultas ekonomi (FE).Posisi tenaga pendidik atau guru memang idealnya diisi oleh para sarjana FKIP. Akan tetapi, apabila tingkat kompetensi sarjana FKIP jauh di bawah sarjana fakultas lainnya, tentu saja tak bisa dipaksakan mengajar.

Calon guru PNS akan mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional setelah mengikuti proses PPG selama satu tahun. Sertifikat tersebut kedepannya harus dilampirkan sewaktu yang bersangkutan akan melamar menjadi guru CPNS. Dengan sertifikat tersebut serta ditambah pengalaman mengajar selama 24 jam pelajaran per pekan, guru bersangkutan berhak mendapatkan tunjangan profesi pendidik (TPP). Apabila wacana seleksi CPNS khususnya perekrutan guru PNS profesional tersebut berjalan secara sistematis serta lancar, beliau yakin bahwa kualitas guru-guru Indonesia bisa beranjak naik. Nuh pun menegaskan bahwa posisi PPG ini strategis, sebab merupakan proses substitusi program sertifikasi guru yang saat ini sedang berjalan.

Sumber:

Publikasi sebuah lembaga pendidikan adalah sebuah keniscayaan untuk membuat komunikasi dengan masyarakat luas. Di jaman informasi ini, komunikasi bisa dilakukan dengan teknologi. Meski internet dan social media melanda semua lini kehidupan, media konvensional macam spanduk, billboard, dan poster masih marak dilakukan. Hal ini didasari tidak semua masyarakat pengguna sekolah mencari informasi melalui internet.

Pihak sekolah harus mempelajari segmen siswa, sebagai contoh komunitas orang tua yang status-quo, yang memilih sekolah karena faktor kepemimpinan, akan mantap memilih sekolah dengan foto sang kepala sekolah di papan besar. Mereka beranggapan, kepemimpinan yang menonjol akan membawa kemajuan sekolah. Banyak benarnya memang. Jika suatu waktu sang pimpinan keluar, pindah kerja, dibajak sekolah lain atau mengundurkan diri karena alasan lain, maka biasanya terjadi gagap dan pengenduran peminat. Wah gawat, hal ini harus dihindari.

Ada lagi contoh sebuah sekolah bertaraf international memasang sebuah billboard dengan ukuran besar dengan memamerkan berbagai fasilitas mewah yang dimilikinya. Seperti fasilitas kolam renang, bahasa inggris, computer dan yang paling norak di sampingnya, foto kepala sekolah, seorang ibu setengah baya berkebaya, besar sekali ukuran gambarnya, hahaha…Lha, narsis bukan hanya milik anak ABG dan para caleg tapi kepala sekolah pun pengin menunjukkan mukanya di depan khalayak ramai, horor memang… Masalahnya isi pesan yang akan disampaikanpun, kini makin mirip dengan iklan komersial produk dan jasa. Persaingan menjadi alasan klasik dunia pendidikan kita.

Mana yang lebih efektif? Saya pribadi belum dilakukan survey. Namun kata hati saya pasti bertolak belakang dengan promosi publikasi dua sekolah di atas. Sekolah tetaplah menjadi lembaga yang memanusiakan manusia. Tak elok jika dikomunikasikan dengan gaya komersial, ataupun dengan memamerkan fasilitas dan ketokohan. Proses pembelajaran akan menjadi samar-samar. Sekolah kan layanan social yang masih sarat dengan nilai-nilai. Jangan diobral layaknya menjual obat dung! Sewajarnya ajalah. Tak perlu muluk, desain elegan, tampilkan wall of fame atau ketercapaian yang pernah dihasilkan. Bukan menonjolkan komersialisasi dan pamer wajah pemimpin sekolah, apalagi janji dan fasilitas. 

Orang tua calon peserta didik memilih sekolah tidak dengan cara impulse buying yang menentukan dengan cepat dan segera saat itu juga. Kebanyakan masih dengan cara lama yang lebih dipercaya, yakni komunikasi langsung. Saat open house misalnya, umumnya diperlihatkan semua faktor penunjang sekolah. “Pakai saja event atau kegiatan lain yang menyentuh langsung calon orang tua dan siswa. Dengan begitu, jumlah siswa yang diharapkan akan lebih lestari atau lebih ‘berumur lama’, dibanding perolehan murid yang dilakukan dengan sentuhan komersial.

Saran saya pelajari kembali rencana publikasi dan publisitas sekolah. Lakukan dengan lebih patut. Strategi mendapatkan siswa baru akan lebih elegan jika dilakukan dengan tatap muka dan pendalaman kekuatan sekolah yang sesungguhnya. Demikian tarik menarik nantinya akan terjadi dengan lebih alami. Akan terseleksi, orang tua dan siswa yang sama vision nya. Masalah dibelakangnya masih panjang, karena itu penjaringan siswa lebih baik tak mengandalkan tawaran diskon atau wajah pemimpin. Tetaplah mengutamakan proses belajar. Ingat !! Sekolah yang unggul itu bukan the best input, but the best process. 

Semoga bermanfaat...

Referensi:
teachersguideonline. Oktober 25, 2010 

Educationesia - Dalam dunia pendidikan proses pembelajaran merupakan hal yang sangat inti, karena hal ini menyangkut output yang dihasilkan nantinya.  Namun dalam proses pembelajaran terdapat beberapa kemiriban makna, sehingga yang konon guru memegang sertifikat pendidik professional pun masih kebingungan membedakan beberapa istilah tersebut. Istilah-istilah tersebut yakni : pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik dan model pembelajaran. Simpelnya pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran (tidak menutup kemungkinan berasal sudut pandang aliran/teori belajar). Secara umum menurut teori kuliah dulu dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: student centered approach dan teacher centered approach dari sini sudah paham kan? Ok dilanjut ya. Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan tadi selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. 

Ilustrasi Model Pembelajaran

Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam enam bagian, yaitu: Contextual Teaching Learning, Role Playing, Participative Teaching and Learning, Mastery Learning, Modular Instruction, dan inqury. Sedangkan ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Dalam hal ini strategi pembelajaran masih bersifat konseptual dan untuk mengimplementasikannya masih memerlukan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” Jadi, metode pembelajaran dapat diterjemahkan sebagai suatu cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang telah disusun dalam bentuk kegiatan nyata untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa metode pembelajaran, diantaranya yaitu:  strategi ceramah, demonstrasi,diskusi, simulasi, laboratorium, pengalaman lapangan, brainstorming, debat, dan sebagainya.

Kesimpulannya dari keseluruhan proses di atas jika terangkai menjadi satu kesatuan utuh maka terbentuklah istilah apa yang biasa kita sebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru (ahmadsudrajat.wordpress, 12 september 2008). 

Sebagai akhir dari pembahasan artikel ini kita sebagai seorang pendidik hendaknya dapat secara kreatif mencoba dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri sesuai dengan kondisi nyata di kelas masing-masing, sehingga pada akhirnya akan memunculkan model-model pembelajaran baru, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran dalam dunia pendidikan kita.

Copyright © 2012 - Educationesia - is proudly powered by Blogger
is originaly created by Design Disease brought to you by Smashing Magazine