Tips Mendirikan Sekolah

Bidang pendidikan merupakan lahan empuk dan subur untuk dijadikan bisnis. Karena menurut pakar bisnis, ada 2 bidang bisnis yang tidak akan pernah mati, dalam keadaan perang sekalipun; yaitu, pendidikan, dan kesehatan. Orang takut bodoh, karena bodoh berakibat miskin. Begitu juga orang tidak mau sakit, maka apabila sakit maka akan membla-belain mengobati penyakitnya demi mendapatkan kesembuhan.
Sekolah memang suatu bisnis yang sangat menguntungkan. Bagaimana tidak? Dengan perhitungan bisnis, misalnya untuk biaya pembangunan gedung, sarana dan prasarana bisa didapat langsung dari uang pendaftaran, seragam, uang gedung (uang buku?) yang jumlahnya tidak sedikit dan wajib dibayar dimuka. Sedangkan untuk gaji guru dan keperluan sehari-hari bisa didapat dari uang spp murid, pendek kata semua uang diterima dimuka.

Melihat promosi sekolah, tak beda seperti lihat promosi supermarket karena pendidikan sudah menjadi industri saat ini. Jadi, karena dia memang suatu bisnis, maka sudah tahu apa yang harus dilakukan: bersaing! Lihat saja apa yang mereka tawarkan ke orang tua murid; bilingual, active learning, multiple intelegencies, kelas internasional, sekolah dengan IB Program, sekolah dengan berbagai macam ekskul yang tentu saja itu semua harus diganjar dengan uang tidak murah. Bisnis pendidikan adalah bisnis kepercayaan, maka sekalinya dipercaya image itu akan melekat pada lembaganya. Tidak perlu mencari siswa, tapi orang tua lah yang berbondong-bondong mencari lembaga semacam itu.

Kalau diperhatikan, sekarang ini bisnis pendidikan makin subur dan menjamur. Dengan menu jualan yang bervariasi seperti, bilingual, full english, lebel IT (Islam terpadu), label Plus, kurikulum Cambridge, dll membuat sekolah seperti perusahaan, profit oriented. Salahkah? tentu tidak. Kualitas sebanding dengan harga, benar adanya. Tapi kalau pendidikan membuat kastanisasi kehidupan (kusus orang kaya) , pemenuhan otak, namun pengeringan hati, patut dipertanyakan; bahwa pendidikan semacam itu telah kehilangan rohnya.

Bayangkan, kini perusahaan-perusahan besar mendirikan sekolah sebagai profit wings nya. Bohong kalau di nyatakan sebagai CSR. Lihatlah, group  Pembanguna Jaya, Ciputra, Sampurna, Bakrie, Medco, semuanya punya sekolah bahkan diantaranya punya universitas. Lebih hebat lagi, mereka menggiring anak siswa2 Play Group yang sekolah di lembaga dia untuk masuk SD, lulus  SD digiring ke SMP, terus ke SMA. Dan dengan garansi jaminan kerja di lingkungan dia siswa lulus SMA diarahkan ke Universitas dia. Lulus kuliah, bekerja dilingkungan (perusahaan) dia, setelah berpenghasilan dan sukses mereka  diarahkam  agar membeli produk dia yaitu perumahan. Dia hidup, sekolah, kuliah, bekerja, berpenghasilan, ber- pengeluaran, beranak-pinak  semuanya berada dan dapat oleh dia perusahaan besar tersebut. Dia mengeluarkan gaji dan dia pula menyedot uangnya. HEBAT YA …..  Inilah blunder bagi si miskin, berkurangnya kesempatan dan daya saing.

Inilah moment  untuk berbisnis bidang pendidikan. Bisnis pendidikan sebagai provit oriented (mencari keuntungan).  Benar tidaknya, ini daerah abu-abu, dan sudah terjadi di negeri kita. Pemerintah jelas kecolongan atau tidak perduli membuka kran kebebasan bagi pendirian sekolah/universitas.  Jangan2 menikmati setorannya ya.  Ah.. daripada mengumpat kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Dari pada mengumpat pemerintah lebih baik mendirikan sekolah sendiri, bisnis bidang pendidikan, lezaaaat..
Kalau kita masih berfikir, bolehkan bisnis pendidikan? Alamakkkk…., ya telat, mang kemana aja, hehe. Tapi, better let than never. Ayo bisnis pendidikan.

Sedikit cerita, sebulan yang lalu ngobrol dengan seorang guru SD swasta di pinggiran Jakarta. Biasa, soal keluh kesah kondisi keuangan sekolahnya. Pemilik modal (sekolah) atau tepatnya, pemilik yayasan, mulai ogah-ogahan mengucurkan dana. Dia menekan kepada para pengelola (termasuk) guru dan kepala sekolahnya mulai mencari keuntungan. Si teman jadi bingung. Bagaimana cari untung, wong, cari murid saja susah. Maklum, sekolahnya, bukan sekolah yang mentereng dengan beragam fasilitas dan ektra kurikuler yang hebat. Hanya sebuah gedung dengan peralatan belajar seadanya. Salah satu contoh, sang teman masih menggunakan kapur, bukan spidol.

Kata sang teman, kalau dapat murid, paling anak yang kurang mampu. Dan itu bisa ditebak, untuk urusan SPP pasti sering nunggak. “Sudah berkali-kali diberi surat cinta, tapi tetap saja bandel, gak bayar-bayar.” Padahal, sumber pendapatan utama sekolah tersebut dari SPP. Makanya, sang teman menyarankan, kalau bikin sekolah jangan yang tanggung-tanggung. Bikin gedung sekolah yang megah dengan beragam fasilitas yang menunjang. Niscaya, akan banyak orang yang melirik. Jika tidak, ya siap-siap saja jadi lembaga sosial. Apalagi, kata sang teman, susah sekali meng-upgrade, sekolah kelas rendahan menjadi sekolah  kelas gedongan. Kecuali ganti merk.

Dan satu hal yang perlu diingat, bisnis pendidikan ini menelorkan banyak turunan lho... Seperti  seragam, buku, ATK, catering, jemputan, lembaga bimbingan belajar, dll. Bahkan kini lembaga pendidikan menjadi market bagi promosi sebuah produk. Berkedok sponsorship dan kerjasama produk makanan, kesehatan, olahraga, bimbel, menjadikan sekolah sebagai tujuan promosi. Terjadilah barter produk, dan bagi owner sangatlah jelas bahwa ini sangat menguntungkan dan menambah pundi-pundi pendapatan.

Copyright © 2012 - Educationesia - is proudly powered by Blogger
is originaly created by Design Disease brought to you by Smashing Magazine